Pedestrianisme adalah olahraga berjalan kaki yang menawarkan epos persaingan, hadiah uang menggiurkan, nasionalisme yang membara, dan tempat berkumpulnya orang-orang paling eksentrik.
Pertandingan pada hari itu dimulai di waktu yang tak biasa, yaitu jam satu pagi pada hari Minggu.
Di hari itu, 21 September 1879, sebanyak 13 atlet yang mayoritas berkumis mengenakan celana ketat yang dipadukan dengan celana super pendek. Mereka berkumpul di Madison Square Garden, New York, Amerika Serikat, dengan diiringi sekitar 10.000 penonton yang bersorak-sorai.
Ini adalah acara olahraga yang paling dinantikan di zaman tersebut dan memicu kegilaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Para kontestannya adalah selebritas internasional. Mereka membawa rombongannya sendiri, terdiri dari ahli gizi, dokter, koki, pemijat profesional, dan pelatih yang belakangan diketahui menyarankan mereka untuk minum champagne saat berlomba.
Baca juga:
Sebelumnya, pada hari yang sama, orang-orang telah berkerumun di luar arena. Lebih dari 200 orang mencoba menerobos masuk dengan berpura-pura menjadi bagian dari rombongan para atlet.
Seorang perempuan berteriak, "Biarkan saya masuk! Saya ahli tulang yang merawat kaki [kontestan Peter] Panchot!". Peristiwa itu dilaporkan media massa New York Herald.
Rumor beredar bahwa mereka yang tak mampu membayar tiket masuk seharga satu dolar akan meringsek masuk dengan merobohkan pintu-pintu.
Semua ini adalah bisnis yang serius. Ada sponsor dari berbagai perusahaan. Salah satu atlet yang hadir dalam pertandingan itu, meski tak berkompetisi, adalah juru bicara sebuah merek garam.
Ada berbagai penganan, termasuk chesnut panggang dan acar telur, termasuk gelas-gelas bir yang diisi dari keran yang tersedia untuk umum.
Terdapat kelompok musik dari militer yang membuat seluruh arena bernuansa nasionalis. Taruhan-taruhan besar dibuat. Para penonton melambaikan bendera serta sapu tangan.
Ini bukanlah pertandingan sepak bola, turnamen tenis, atau permainan basket. Ini adalah kontes "pedestrianisme", di mana para penonton datang untuk melihat para kontestan berjalan kaki.
Turnamen ini, khususnya, adalah Great Six Days Race keenam yang diadakan oleh politikus Inggris dan baron olahraga, Sir John Astley.
Peraturannya cukup sederhana. Pada dasarnya, para kontestan harus berjalan di trek yang melingkar selama enam hari berturut-turut, sampai mereka menyelesaikan putaran yang setara dengan 724 kilometer.
Mereka boleh berlari, berjalan, terhuyung-huyung, bahkan merangkak, asalkan tidak meninggalkan lintasan berbentuk oval yang ditaburi serbuk gergaji itu sampai perlombaan selesai.
Mereka juga diperbolehkan makan, minum, tidur (dan mungkin saja melakukan fungsi tubuh lain) di dalam tenda-tenda kecil yang didirikan di sisi lintasan. Beberapa tenda tampak dilengkapi dengan berbagai perabotan.
Sama seperti olahragawan hari ini, para atlet pejalan kaki (disebut pedestrian) menerima uang yang jumlahnya menggiurkan.
Siapapun yang mampu berjalan paling jauh dalam waktu yang disediakan akan memenangkan $25.000 (sekitar $679.000 atau Rp9,75 miliar dengan nilai sekarang).
Mereka juga akan mendapatkan sebuah sabuk perak yang diukir dengan kata-kata "Juara Dunia Jarak Jauh".
Dari mana kegilaan akan olahraga aneh ini berasal? Bagaimana para atlet mendapatkan ketahanan biologis untuk melakukannya? Dan, mengapa olahraga ini kemudian menghilang?
Taruhan konyol
Pedestrianisme pertama kali dimulai dan berlanjut dengan tujuan sama, dengan hadiah dan taruhan.
Pada 1859, Edward Payson Weston adalah pemuda kurus 19 tahun yang bekerja sebagai tukang cetak koran New York Herald. Surat kabar ini di kemudian hari meliput kariernya secara detail.
Baca juga:
Suatu hari, dia diminta untuk mengambil sebuah kotak berisi bunga kiriman dari pasar yang diangkut oleh mobil pengantar, lalu mengirimkannya kembali untuk atasannya, tapi dia lupa.
Mobil pengantar itu datang, lalu pergi lagi. Menyadari kesalahannya, dia menyusul mobil tersebut dengan berjalan kaki, dan kemudian berhasil menemukannya di sekitar West 70th Street.
Teman-teman Weston mendengar kisah ini dengan antusias, dan besoknya, dia diganjar bayaran dua kali lipat karena aksi heroiknya.
Menyadari bahwa kakinya adalah tambang emas potensial, setahun kemudian dia bertaruh dengan seorang temannya tentang hasil pemilihan presiden 1860. Yang kalah, harus berjalan kaki ke Washington untuk melihat upacara inaugurasi.
Dia bertaruh untuk lawan pasangan Abraham Lincoln-John Breckinridge dari Partai Demokrat. Karena kalah taruhan, dia berjalan kaki selama sepuluh hari, yang kemudian justru membuat dia menjadi terkenal.
Dia kemudian menantang lebih banyak orang dalam hal ketahanan berjalan kaki. Selebihnya adalah sejarah.
Pionir Pedestrian ini membuat para dokter dan orang-orang kagum. Dia bahkan diteliti dengan seksama oleh para dokter, sampai ke air seni dan fesesnya.
Selama olahraga aneh ini berkembang, pedestrianisme juga mengalami apa yang kita lihat dalam olehraga populer di masa kini.
Para atlet selebritas diberikan nama panggilan. Mantan penjilid buku yang kemudian menjadi juara, William Gale, dijuluki "Pejalan Terjal Berliku dari Cardiff", sementara Weston sendiri populer dengan nama "Weston si Pejalan Kaki".
Matthew Algeo, penulis buku Pedestrianism: When Watching People Walk Was America's Favorite Spectator Sport, menjelaskan bahwa meskipun melihat orang-orang berjalan dalam lingkaran terdengar sangat aneh bagi penikmat olahraga sekarang, arena di kala itu sangat berwarna dan hidup.
"Weston akan memainkan coronet saat berjalan, dan dia selalu mengenakan jubah dan membawa pecut."
Setiap atlet memiliki teknik khasnya sendiri. Weston dikenal karena gaya berjalannya yang sedikit bergoyang sehingga kadang-kadang dia dijuluki "Willy Wobbler".
Sementara itu, Daniel O'Leary dikenal karena suka memompa lengannya seperti piston dan mengamit jagung di tangannya, yang dia bilang membantu menyerap keringat.
"Anak-anak kecil akan meniru pejalan kaki favorit mereka," kata Algeo.
Obsesi ini kemudian memunculkan kartu-kartu koleksi, yaitu gambar para atlet selebritas yang dicetak di bungkus rokok.
Semakin mereka terkenal, para atlet ini pun semakin berlagak seperti orang tenar. Dalam sebuah lomba di London, misalnya, seorang atlet meminta air dari Kota Chester yang berjarak 321 kilometer jauhnya, hanya karena air itulah yang diminumnya saat berlatih. Persaingan di antara para atlet pun merebak.
Pedetrianisme juga diwarnai dengan skandal doping. Pada 1876, Weston didapati mengunyah daun koka saat bertanding.
Penggunaan produk alami sebagai stimulan ini sebenarnya sudah lama dilakukan oleh peradaban Inca di Amerika Selatan, yang memakainya untuk melepas kelelahan dan kelaparan.
Meski hingga saat ini penggunaan koka ilegal di banyak negara karena zat adiksinya, pada saat itu mengunyah koka tak sepenuhnya melanggar hukum, tapi hanya dianggap tak sportif. Alasan Weston pun klasik: dia dianjurkan oleh dokter.
"Pedestrianisme sangat populer karena beberapa alasan," kata Algeo.
"Anda harus mengingat bahwa saat itu industrialisme berkembang pesat, orang-orang pindah ke kota untuk bekerja di pabrik-pabrik. Mereka bekerja sepanjang malam dan harus bangun pagi-pagi. Dan karena perlombaan pedestrianisme berlangsung selama enam hari, arena selalu buka."
Para pekerja bisa keluar dari pabrik jam tujuh pagi, lalu bergabung dengan keramaian di perlombaan pedestrian dengan sedikit uang.
Bertarung melawan kuda
Perlombaan Great Six Days kemudian diikuti oleh olahraga ketahanan lain, seperti Self-Tanscendence yang berlangsung selama 53 hari yang melelahkan. Para kontestan harus berjalan nyaris 100 kilometer per hari untuk mencapai target.
Tapi bagaimana stamina seperti ini mungkin tercapai secara biologis? Salah satu teori yang banyak diperdebatkan adalah sejarah evolusi.
Nenek moyang manusia kerap melakukan perburuan hewan selama berjam-jam atau berhari-hari, sampai hewan tersebut pingsan karena kelelahan dan dapat dengan mudah dibunuh.
Beberapa masyarakat pemburu-pengumpul masih menggunakan teknik ini hingga saat ini, seperti suku San di Afrika bagian selatan.
Sebagai primata yang tak berbulu dan banyak berkeringat, manusia lebih unggul dari hewan berbulu seperti rusa, yang tak punya kemampuan sama untuk melakukan evaporasi guna mengurangi pana sehingga lebih cepat kepanasan dalam perjalanan jarak jauh.
Pada 1818, atlet pedestrian Inggris, J Barnett, membual bahwa dia dapat mengalahkan seekor kuda. Kuda itu menang dengan jarak 288 kilometer, sementara Barnett hanya berhasil berjalan 254 km, walaupun kuda tersebut membawa beban seberat 76 kilogram.
Lebih dari 60 tahun kemudian, Guyon mencoba pertaruhan yang sama — lagi-lagi manusia kalah, dengan jarak 80 kilometer selama 52 jam (dia menyalahkan udara yang dingin).
Tapi bagaimana dengan perlombaan selama enam hari? Setelah percobaan pertama yang tak sukses, pada 1880, sebanyak 15 laki-laki dan lima kuda berlomba di sebuah trek di Chicago.
Di hadapan penonton yang membludak, kuda-kuda mulanya mengalahkan lawan berkaki dua mereka. Di hari kedua, salah satu kuda mencapai 354 kilometer sementara manusia yang tercepat baru sampai 313 kilometer.
Tapi kemudian hal yang tak disangka-sangka terjadi.
Pada hari kelima, kuda yang paling memimpin, yaitu kuda betina bernama Betsy Baker, berhenti merespons cambukan dan istirahat selama dua jam.
Ternyata dia kelelahan, dan tidak ada yang bisa membuatnya mau berjalan kembali selain champagne. Michael Byrne dari New York menang dalam perlombaan melawan kuda, dengan 930 kilometer atas 906 kilometer.
Tahun lalu, sekelompok ilmuwan meneliti mengapa ini bisa terjadi. Mereka menganalisa hasil dari tiga pertandingan manusia melawan kuda dan membandingkannya dengan kondisi pada hari ketika duel itu berlangsung.
Mereka mendapati kecepatan kuda menurun dengan lebih cepat ketika hari panas, dibandingkan dengan manusia.
Para penulis penelitian ini menyangka ini alasan mengapa manusia mampu beradaptasi dengan lari jarak jauh dalam suhu panas.
Penurunan drastis
Namun pedestrianisme hanya sekejap saja menikmati kejayaan.
Pada Maret 1881, ketertarikan terhadap olahraga aneh ini tiba-tiba menurun drastis. Dalam perlombaan O'Leary Belt, kompetisi yang dibuat oleh atlet Daniel O'Leary, surat kabar New York Times menulis laporan buruk.
"Enam orang yang menyedihkan bekerja keras di sekitar trek, di depan kerumunan yang sedikit, dalam jumlah maupun dalam antusiasme, untuk menyoraki enam kontestan itu," tulis mereka.
Ketika selebritas pedestrian Hughes dan Hart pensiun, ketertarikan pada pedestrianisme pun turut punah.
Arena-arena kosong di siang hari, dan pada malam hari jumlah penonton tak sampai 10% dari sebelumnya.
Sebuah surat kabar menulis, "Ini adalah kesimpulan tak terhindarkan. Orang-orang menyadari bahwa pertandingan berjalan kaki, bila mereka bukan dilakukan dalam pertunjukan sirkus, seburuk apapun ini artinya, adalah pertunjukan yang brutal, dan tak bisa ditoleransi oleh masyarakat yang berbudaya."
Realitas memalukan yang ditulis oleh reporter ini adalah rahasia kelam dalam pedestrianisme.
Meskipun berjalan selama enam hari terdengar menyehatkan, pedestrianisme lebih mirip pertunjukan para pesakitan ketimbang pamer ketahanan.
Dengan sedikit atau tanpa tidur sama sekali, kebanyakan minum champagne dan injuri yang kerap dialami, para pedestrian elit lebih sering menjalani separuh perlombaan dengan terpincang-pincang dan terhuyung-huyung.
"Itu mengerikan, tapi pada masa itu, ini menghibur bagi orang-orang," ujar Algeo.
Pedestrianisme tak langsung menghilang, tentu saja. Pada akhirnya, olahraga ini bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih manusiawi bagi publik.
Sama seperti cikal bakalnya, perlombaan di masa kini melibatkan berjalan kaki dengan jarak tertentu dalam waktu secepat mungkin — biasanya lebih masuk akal, seperti 20 kilometer (jarak untuk Olimpiade perempuan) atau 50 kilometer (jarak bagi laki-laki).
Untuk membedakannya dengan lari, satu kaki harus selalu ada di atas tanah setiap kali menapak.
Dan mungkin, terlalu cepat untuk mengatakan bahwa pedestrianisme sudah sama sekali tak ada.
"Perlombaan ketahanan semacam ini selalu ada sepanjang sejarah," kata Derek Martin, mahasiswa doktoral yang mempelajari pedestrianisme di Manchester Metropolitan University.
Maraton, yang pertama kali diluncurkan sebagai cabor Olimpiade pada 1896, terinspirasi dari legenda Yunani, seorang pembawa pesan bernama Pheidippides, yang lari dari Kota Marathon ke Athena.
Selama beberapa dekade, maraton hanya digelar saat Olimpiade. Hingga pada tahun 70-an dan 80-an, kompetisi maraton untuk publik bermunculan.
"Tak ada yang mengira orang biasa bisa ikut lomba lari maraton," kata Martin. "Dan tentu saja sekarang Anda sering kali mendengar teman Anda berkata, 'Saya akan berangkat ke Maraton Paris tahun depan' dan 'Bisakah Anda mensponsori saya?' Semua kegilaan semacam ini," tutup Martin.
"sepak" - Google Berita
August 29, 2021 at 11:57AM
https://ift.tt/38kfVCS
Cerita lomba berjalan kaki ratusan kilometer 'yang lebih keren dan populer' ketimbang sepak bola pada abad ke-19 - BBC News Indonesia
"sepak" - Google Berita
https://ift.tt/2SP8xJg
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Cerita lomba berjalan kaki ratusan kilometer 'yang lebih keren dan populer' ketimbang sepak bola pada abad ke-19 - BBC News Indonesia"
Posting Komentar