Search

Antara Kupang-Yogyakarta: Sepenggal Catatan Perjalanan Menikmati Sepak Bola - ayobandung.com

AYOBANDUNG.COM -- Kisah dimulai pada awal tahun 1980-an dengan mengambil setting awal di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Anggaplah tulisan ini sebagai sebuah reportase tentang pengalaman hidup penulis yang bersentuhan dengan sepak bola.

Kupang, kota karang dengan panas menyengat itu adalah tempat saya lahir dan bertumbuh menjadi seorang bocah yang menggilai sepak bola, sampai detik ini. Memori tentang sepak bola itu yang ingin saya rekam jejaknya lewat tulisan ini.

Salah satu yang terekam jelas, ketika usia saya sekitar 7 atau 8 tahun, saya pernah merengek dan menangis gak mau pulang ke rumah, sebelum dibelikan “bola kulit” oleh ibu (mama).

Alam bawah sadar seorang bocah membuat saya bersikukuh dibelikan bola, karena itu adalah jaminan bahwa pasti dilibatkan dalam permainan bola. Sebuah perjanjian tidak tertulis di antara kawan sepermainan.

Bola Kulit dan Simbiosis Mutualisme

Bola Kulit”, begitulah istilah kami, meskipun itu bukan benar-benar terbuat dari kulit. Namun, dari segi harga dan kualitas sudah cukup untuk membedakan kastanya dengan bola dari bahan plastik. Bola plastik tentu perlu treatment khusus dan kadang menggelikan. Apalagi jika bola plastik tersebut penyek karena tergencet saat permainan berlangsung. Permainan bisa berhenti cukup lama, tentu saja bukan karena perkara wasit masih mengecek video VAR, tetapi karena bola plastik tersebut perlu untuk diperbaiki, entah dengan memencet, meniup, maupun upaya lainnya.

Sebagai anak lelaki satu-satunya dalam keluarga, permintaan ke orang tua untuk membeli bola kulit adalah ritual tahunan yang saya lakukan. Di daerah perumahan kami--lebih sering diistilahkan dengan kampung atau gang--tidak semua anak seumuran saya saat itu yang memiliki bola kulit. Siapa yang memiliki bola kulit tentu merupakan sebuah prestise tersendiri, sekaligus sebuah garansi agar bisa terlibat dalam permainan. Sebuah wujud sederhana simbiosis mutualisme.

Saya ingat persis, sering kali permainan belum bisa dimulai kalau saya dan bola belum ada. Sebenarnya, setiap siang, saya dan kakak serta adik-adik diwajibkan orang tua untuk tidur siang, tetapi hobi sepak bola membuat saya kerap bolos tidur siang.

Biasanya, sekitar pukul 15.00, teman-teman sudah berdiri menunggu di depan rumah saya. Kalau tidak memanggil nama, maka mereka kadang memberi tanda dengan siulan atau isyarat lainnya untuk mengajak saya bermain bola.

Nobar dan Tarkam ala 1980-an

Di kampung atau gang tempat tinggal saya, sudah sejak dulu mengenal nonton bareng (nobar) dan tarkam (pertandingan sepak bola anak-anak antar kampung). Nobar yang saya maksud di sini tentu saja nobar sepak bola. Namun, jelas berbeda jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, yang mana nobar biasanya diadakan di cafe atau hotel dengan berbagai pilihan saluran televisi maupun TV berlangganan.

Nobar yang saya alami waktu kecil adalah nonton bareng Piala Dunia sepak bola di salah satu rumah warga yang mempunyai televisi berwarna, dengan hanya satu pilihan channel, TVRI, saluran pemersatu bangsa.

Zaman itu, televisi berwarna masih langka dan hanya dimiliki oleh beberapa warga tertentu saja. Selain keterbatasan televisi berwarna, perkara aliran listrik juga merupakan soal rumit lainnya. Dulu, kami di kampung pernah merasakan nonton siaran langsung bulu tangkis Thomas Cup dengan mengandalkan arus listrik dari accu. Ketegangan menyaksikan pertandingan bulu tangkis dibumbui dengan perasaan waswas jika sewaktu-waktu aliran listrik terganggu, atau kadang semua kaget dan berteriak jika aliran listrik terputus karena ada warga yang gak sengaja menyenggol kabel sambungan ke accu

Artikel ini saya tulis tepat dua hari setelah meninggalnya Diego Armando Maradona, maestro dan legenda sepak bola asal Argentina. Seorang pesepak bola yang banyak berpengaruh terhadap kecintaan saya pada dunia sepak bola.

Harus diakui, generasi saya adalah generasi yang banyak terbius oleh magi dan kemampuan olah bola Maradona. Tahun 1982 saya mulai mengenal sosok Maradona lewat aksinya di Piala Dunia yang berlangsung di Spanyol.

Pada gelaran Piala Dunia berikutnya tahun 1986 di Meksiko, kecintaan saya pada sosok Maradona makin menjadi-jadi. Apalagi saat itu Maradona berhasil memimpin Argentina memenangi Piala Dunia. Pada Piala Dunia 1986 ini terpatri dengan jelas sejarah aksi protagonis Maradona saat menyingkirkan Inggris di perempat final dengan dua golnya.

Yang pertama, gol “Tangan Tuhan” nan kontroversial, kemudian disusul aksi fenomenalnya saat melewati  lima pemain Inggris sebelum menceploskan gol keduanya. Momen itu adalah salah satu kisah dan catatan terpenting dalam sejarah sepak bola dunia.

Selamat jalan Maradona! Terima kasih atas keindahan sepak bola yang engkau wariskan.

Masa-masa kecil di tahun 1980-an juga diwarnai dengan kegiatan pertandingan sepak bola anak-anak antar kampung (tarkam). Saya dan teman-teman dari kampung atau gang kami pernah menamakan kelompok kami dengan sebutan Hamburga FC, mungkin karena terinspirasi oleh salah satu klub ternama di Jerman.

ami sering mengundang anak-anak dari kampung terdekat untuk menjadi lawan tanding. Misalnya, kami melawan anak-anak kampung Rote atau anak-anak kampung Alor. Kampung Rote adalah kampung yang banyak dihuni oleh warga pendatang yang berasal dari Pulau Rote, sebuah pulau yang masih termasuk wilayah Provinsi NTT, pulau paling ujung selatan Indonesia. Sementara kampung Alor juga banyak dihuni oleh warga pendatang dari Pulau Alor, sebuah pulau lain di ujung timur wilayah NTT.

Unik dan lucunya, kelompok anak-anak di kampung atau gang kami tidak disebut dengan latar belakang identitas kedaerahan seperti di atas. Kami lebih sering dikenal dengan sebutan anak gang Damri. Karena lokasi rumah kami berada di sebuah gang sebelah kantor perusahaan angkutan Damri (Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia).

Tarkam yang diadakan di atas tidak memperebutkan piala atau hadiah apa pun, karena semata-mata sekadar penyaluran hobi dan tentu saja sebuah kebanggaan jika bisa mengalahkan lawan dari kampung sebelah.

Lapangan Kampung

Jangan membayangkan sebuah lapangan dengan rumput hijau. Lapangan tempat kami sewaktu kecil bermain bola adalah sebidang tanah kosong yang berdebu dan berbatu. Ukuran dan bentuknya juga sangat tidak proporsional untuk dikategorikan sebagai bentuk empat persegi panjang. Lapangan ini juga sama sekali tidak disertai garis pembatas atau garis petunjuk lapangan.

Permainan dilakukan dengan kaki kosong. Karena jangankan sepatu bola, menyediakan bola kulit saja sudah susah. Kondisi lapangan yang berbatu serta tanpa alas kaki tentu membuat kami harus bersiap-siap jika luka serta tergores. Namun, itu semua tidak membuat nyali kami ciut. Kami menikmati permainan dengan gembira.

Salah satu sisi belakang gawang dibatasi oleh rumah warga, sementara di ujung gawang lain mentok pada sebuah fondasi rumah yang belum selesai dibangun. Pada bagian samping lapangan terdapat juga sebuah rumah penduduk dan sisi lain sebelahnya lapangan dibatasi oleh deretan pohon kapuk.

Pohon kapuk ini memiliki lingkar batang yang cukup besar. Tidak adanya garis batas samping lapangan secara jelas akhirnya membuat posisi deretan pohon kapuk itu seakan menjadi bagian dari permainan.

Jika bola liar mengarah ke deretan pohon itu maka para pemain harus lihai, antara merebut dan menggiring bola atau menghindari batang pohon kapuk yang cukup kokoh tersebut. Sungguh keasyikan tersendiri!

Keterbatasan lain adalah tidak adanya tiang gawang. Seperti anak-anak pada umumnya, kami tidak kehilangan akal. Sandal jepit kami atau bongkahan batu karang bisa menjadi alternatif pengganti tiang gawang.

Dalam urusan gawang ini, seorang kiper mendapat tambahan tugas ekstra. Dirinya tidak hanya bertugas mempertahankan gawang agar tidak kebobolan tetapi perlu waspada pada lawan yang kadang secara sengaja iseng atau bahkan curang menggeser penanda batas gawang sehingga ukuran gawangnya malah bisa menjadi lebih lebar.

Tadi di atas sempat saya singgung tentang dua rumah warga yang terletak di belakang gawang dan di samping lapangan. Kedua rumah tersebut kerap menjadi sasaran bola liar yang ditendang anak-anak.

Pernah sekali waktu, bola yang ditendang tidak sengaja meluncur mengenai kaca jendela salah satu rumah tersebut. Sang pemilik rumah menjadi marah dan mencak-mencak. Sejurus kemudian bola tersebut diambil dan disobek olehnya dengan menggunakan sebuah golok. Sebuah bola menjadi tumbal, kami trauma dan sempat beberapa waktu absen bermain di lapangan tersebut.

Sebenarnya, berjarak tidak sampai satu kilometer dari kampung saya ada sebuah lapangan yang cukup bagus dan berumput. Lapangan tersebut terletak di dalam kompleks perkantoran Kepolisian Daerah (Polda) NTT. Satu pengalaman menarik ketika kami main di lapangan Polda tersebut yakni saat proses penurunan bendera Merah Putih di sore hari. Setiap kali momen rutin penurunan bendera maka semua orang yang ada di lapangan, baik yang duduk di pinggir lapangan maupun yang sedang bermain bola, harus berdiri dan menghentikan sejenak aktivitasnya. Sebuah bentuk sederhana pengajaran bela negara dan penghormatan terhadap simbol atau identitas negara yang sudah kami alami sejak kecil.

Dua Babak di Sekolah Dasar

Sekitar tahun 1983, ketika duduk di sekolah dasar kelas tiga, salah satu pelajaran kesukaan saya adalah Orkes. Tentu bukan pelajaran orkes musik, tetapi Olahraga dan Kesehatan. Saat pelajaran ini kesempatan kami untuk banyak bermain dan santai di luar kelas. Apalagi kalau dibolehkan bermain bola, sudah pasti tidak akan disia-siakan.

Pak guru kelas tiga sebenarnya seorang yang terkenal galak, tetapi punya kelemahan. Beliau gampang dirayu jika dibelikan sebatang rokok. Kami yang hobi bermain bola di sekolah kadang membujuk beliau untuk memberi tambahan waktu pelajaran Orkes tersebut. Jika berhasil, ini bagaikan memperoleh additional time atau bahkan seakan ada babak perpanjangan waktu. Sebuah bonus berharga untuk kami semua.

Di sekolah kami ada jam istirahat sebanyak dua kali. Jam istirahat itu bagi kami laksana babak dalam permainan. Ya, karena saat jam istirahat itulah kami melakukan permainan sepak bola selama dua babak.

Akan ada pemandangan yang wajar jika pada jam masuk kembali setelah istirahat, tubuh kami keringatan, baju seragam kotor dan awut-awutan. Gak masalah  ... yang penting happy. Perkara jika nanti pulang rumah dimarahin orang tua karena seragam kotor, itu urusan belakangan.

Sekolah SD saya berada di dekat sebuah Gereja Katolik. Di belakang gereja ada sebuah halaman kosong yang menjadi tempat favorit kami untuk bermain sepak bola saat jam istirahat. Sebagai anak SD saat itu kami cuek saja bermain sepak bola persis di belakang gedung gereja.

Tidak sulit menemukan beberapa bercak kotoran pada dinding-dinding luar gereja. Apalagi penyebabnya kalau bukan karena terkena bola yang kami mainkan. Untung saja penjaga gereja berbaik hati dan tidak marah atau mengusir kami.

Ya Tuhan, ampunilah kami. Semoga kami tidak dianggap sebagai penista rumah ibadah-Mu.

Membuka Lahan Sepak Bola

Saat menginjak bangku sekolah menengah pertama, orang tua mengirimkan saya bersekolah cukup jauh dari rumah, yakni ke sebuah sekolah yang terletak dekat Atambua (sekarang telah menjadi batas wilayah Indonesia dengan negara Timor Leste) dan tinggal di sebuah asrama putra dekat sekolah.

Jarak antara Kupang-Atambua sekitar 278 Km. Jika memakai bus angkutan butuh waktu sekitar 6-7 jam. Tentu saja saya hanya bisa pulang ke rumah saat liburan sekolah.

Salah satu kegiatan wajib bagi anak asrama adalah tugas mencari kayu bakar di sebuah bukit berhutan, sekitar 1 kilo meter jaraknya dari asrama. Tugas itu biasanya dilakukan berkelompok setelah pulang sekolah dan sehabis makan siang. Jadi, ketika penghuni asrama lain tidur siang, ada yang bertugas mencari kayu bakar.

Kayu bakar itu akan dipakai sehari-hari di dapur asrama untuk memasak kebutuhan makanan bagi seluruh penghuni asrama. Pernah suatu waktu, saat bertugas mencari kayu bakar, kami juga diajak untuk membuat lapangan sepak bola di dekat bukit.

Panas terik di siang hari tidak menyurutkan semangat saya dan beberapa teman untuk membabat rerumputan guna membuka sebuah lahan yang akan dijadikan lapangan sepak bola bagi kami.

Setelah itu, ketika di sekolah menengah atas, saya malah disekolahkan lebih jauh lagi, yakni di Ende, Pulau Flores. Kesamaannya adalah saya juga tinggal di sebuah asrama putra di dalam kompleks persekolahan.  

Untuk ke Ende, saya menggunakan sebuah kapal feri penyeberangan antar pulau. Waktu tempuh perjalanan dengan kapal feri dari Kupang – Ende sekitar 21 jam.

Sama seperti kehidupan di asrama saat SMP, sewaktu SMA pun semua kegiatan berjalan dengan aturan yang ketat. Kegiatan sudah diatur jadwalnya masing-masing dengan jelas. Mulai dari jam bangun pagi, makan pagi, sekolah, makan siang, tidur siang, kerja bakti, olahraga, mandi sore, belajar, makan malam, dan istirahat malam.

Dari jadwal seharian tersebut, sudah bisa ditebak jadwal kegiatan mana yang paling saya sukai, sudah tentu jadwal olahraga. Karena saat itulah, saya dan teman-teman berkesempatan bermain sepak bola di sebuah lapangan sekolah yang cukup baik fasilitasnya.

Menggeluti Sepak Bola Prestasi

Medio tahun 1993 saya tiba di Kota Yogyakarta untuk melanjutkan kuliah di sebuah universitas swasta. Saat awal-awal perkuliahan, waktu dan konsentrasi saya betul-betul terfokus pada kegiatan perkuliahan maupun kegiatan organisasi kemahasiswaan di kampus. Kondisi seperti itu membuat saya cukup lama tidak melakukan aktivitas permainan sepak bola secara rutin. 

Beberapa tahun setelah itu, barulah saya lebih sering bermain bola. Saya mulai mengikuti kegiatan latihan sepak bola bersama teman-teman di unit kegiatan mahasiswa (UKM) sepak bola di kampus. Salah satu ungkapan atau candaan konyol di antara teman-teman yang hobi sepak bola saat kuliah dulu yakni, “Usahakan kegiatan kuliah tidak mengganggu hobi sepak bola”.

Setelah itu, bersama beberapa teman kos-kosan, kami membentuk sebuah klub sepak bola yang bernama Amor FC. Beberapa bulan kemudian kami mengikuti sebuah turnamen sepak bola antara para mahasiswa di Yogyakarta dan kami mampu tampil sebagai juara II dalam turnamen tersebut.

Prestasi itu membuat saya tambah bersemangat berlatih dan bermain sepak bola. Saya kemudian sering diajak mengikuti turnamen sepak bola rutin tahunan yang dulu biasanya diadakan di lapangan Klebengan, Sleman, Yogyakarta. Syukurlah, untuk turnamen ini, tim yang saya perkuat pernah meraih gelar juara pertama.

Turnamen sepak bola di lapangan Klebengan itu adalah pertandingan sepak bola antar kabupaten yang diadakan atau melibatkan peserta dari para pelajar atau mahasiswa asal Provinsi NTT yang sedang studi atau kuliah di Yogyakarta. Bahkan ada tim yang mengajak (membayar) beberapa pemain profesional dari klub lokal di Yogyakarta.

Pada tahun 2004, saya pernah memperkuat sebuah klub sepak bola Divisi Utama Bantul, Yogyakarta, yakni Samba FC Badegan. Syukur pula, saat itu kami pernah menjadi Juara II Kompetisi Divisi Utama Kabupaten Bantul serta Juara II Turnamen Piala Bupati Bantul.

Terakhir, beberapa bulan lalu saya memperkuat tim PS BOS (Banguntapan Old Star) Bantul dan kami meraih penghargaan serta predikat sebagai “Tim Favorit” dalam turnamen Liga Istimewa U-40 DIY – Jateng 2020.

Saat ini saya sudah menikah, ber-KTP DIY, bekerja, dan menetap di Yogyakarta. Seperti saat kuliah dulu, sekarang pun masih ada ungkapan atau candaan di antara teman-teman yang hobi sepak bola, “Usahakan pekerjaan tidak mengganggu hobi sepak bola”.

Apa pun itu, sepak bola telah merasuk dalam keseharian hidup saya. Kalaupun tidak sempat bermain di lapangan, aktivitas menonton pertandingan sepak bola di layar televisi maupun lewat streaming internet masih tetap saya lakukan. Meskipun terkadang harus rela begadang sampai larut malam.

Sekarang setiap minggu saya masih rutin bermain sepak bola untuk menyalurkan hobi sekaligus menjaga kesehatan. Saya bermain rutin di lapangan Jomblangan bersama PS BOS Banguntapan Bantul maupun di lapangan Karang bersama PS Sekar Mas Kotagede Yogyakarta.

Dengan hampir mendekati usia kepala lima, tentu saja saat ini bagi saya sepak bola lebih semata untuk menjalin silaturahmi, atau dalam istilah bahasa Jawa mencari sedulur (membangun persaudaraan dan pertemanan). Kalaupun bisa berprestasi dalam usia seperti sekarang, itu hanya sekadar bonus dan pemanis.

Akhirnya, saya akhiri kisah dan catatan ini dengan sebuah quote:

"Ini seperti setiap hal di sepak bola dan kehidupan. Kamu harus mengamati, harus berpikir, harus bergerak, harus menemukan ruang, Anda harus menolong orang lain. Pada akhirnya ini sangat simpel."-- Johan Cruyff

Let's block ads! (Why?)



"sepak" - Google Berita
January 23, 2021 at 01:43PM
https://ift.tt/3c1MHfa

Antara Kupang-Yogyakarta: Sepenggal Catatan Perjalanan Menikmati Sepak Bola - ayobandung.com
"sepak" - Google Berita
https://ift.tt/2SP8xJg
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update

Bagikan Berita Ini

Related Posts :

0 Response to "Antara Kupang-Yogyakarta: Sepenggal Catatan Perjalanan Menikmati Sepak Bola - ayobandung.com"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.