KOMPAS.com - "Tiket di sini terlalu mahal, saya tak sudi menghabiskan 70 pound untuk duduk di bukan kategori utama Stamford Bridge, sementara kategori utama di Selhurst Park cuma 30 pound,"ujar Mark, tetangga rumah yang siang itu sedang berjemur di depan rumahnya.
Dia menanggapi niat saya menuju Stamford Bridge untuk menyaksikan pertandingan Chelsea vs Manchester City.
Hari itu adalah musim semi tahun 2005. Saya belum lama tiba di London, masih penuh gairah datang langsung ke Stadion.
Baca juga: Jika Disaksikan Penonton, Harga Tiket Liga 1 Mulai dari Rp 250 ribu hingga Rp 1,5 Juta
Crystal Palace masih berada di Championship Division dan Manchester City masih belum kaya raya seperti sekarang.
Sejak sepak bola Inggris berubah dan perlahan investasi asing menyerbu masuk, sepak bola Inggris memang berubah tajam.
Klub-klub yang sudah disuntik dana asing bukan cuma sibuk membeli pemain berkelas, tetapi juga sibuk merapikan saluran pemasukkan mereka.
Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu.
Daftarkan email
Chelsea saat itu baru selesai merampungkan pembangunan hotelnya, membuka lahan untuk bisnis properti mereka dan yang terlihat paling jelas adalah pub mereka yang tiba-tiba membesar.
Harga tiket di Inggris memang dikenal paling mahal jika dibandingkan dengan bagian Eropa lainnya.
Sekitar setahun sebelumnya, saya menyaksikan Bayern Muenchen vs Kaiserlautern di Olympia Stadion dan duduk di kategori kedua (untuk ukuran GBK saat ini), hanya dengan harga tiket 30 euro (kategori lebih tinggi daripada di Stamford di atas).
Saya sudah duduk nyaman berdampingan bersama sebuah keluarga yang datang komplet, mulai dari kakek dan nenek sampai ke pasangan cucu mereka.
Di Spanyol pun demikian, harga tiket Athletic Bilbao vs Real Madrid di San Mames bisa saya dapatkan dengan harga 40 euro, itupun sudah di kategori utama.
"Jika nanti pertandingan sudah bisa disaksikan penonton, maka harga tiket termurah adalah sekitar Rp 250.000," ujar Direktur PT LIB Ahmad Hadian Lukita.
Kabar yang lalu membuat banyak orang terutama para penggila sepak bola nasional meradang.
Baca juga: Brest Vs PSG: Efek Messi, Harga Tiket Melonjak Tinggi, Fans Protes
Mereka jelas protes karena biasanya pada harga tersebut, mereka sudah bisa menyaksikan tim nasionalnya bertanding melawan tim asing.
Lalu jika dibandingkan dengan situasi normal sebelumnya, umumnya tiket termahal pertandingan liga di Indonesia kasta tertinggi ada di kisaran 100 sampai 200.000 rupiah saja.
"Tiket itu terlalu mahal, tidak sebanding dengan kualitas liga," demikian ujar seorang kawan di grup WhatsApp.
Dia tentu tidak sendirian, tak sampai sejam setelah berita harga tiket itu dirilis, nyaris semua orang mempertanyakan persoalan harga dan kemudian membandingkannya dengan kualitas liga yang konon amburadul.
Tak lama kemudian komentar bisa beralih dengan kemampuan tim nasional dalam 30 tahun terakhir.
Persoalannya, perdebatan serta komentar-komentar merendahkan sepak bola kita sendiri itu biasanya justru muncul dari orang-orang yang katanya sangat cinta pada sepak bola di Tanah Air dan katanya juga sampai rela melakukan apapun demi tim kesayangannya.
15 tahun lalu di City of Manchester (kini Ettihad Stadium), saya memang tidak disuguhi nama-nama sebesar Kevin de Bruyne, Gabriel Jesus atau Bernardo Silva.
Man City yang saat itu masih inferior dibandingkan Manchester United masih diperkuat Robbie Fowler atau Trevor Sinclair.
Siang itu mereka meladeni tetangga mereka yang datang dengan calon GOAT Cristiano Ronaldo serta nama-nama yang hari ini umumnya menjadi legenda Manchester United.
Pada hari Sabtu itu, saya harus merogoh kantong sedalam 45 poundsterling untuk duduk di sudut yang sejajar dengan areal tendangan penjuru.
Mungkin hari itu saya tak banyak protes karena saya menyaksikan orang-orang yang sebelumnya hanya bisa saya saksikan di televisi.
Tetapi tak berapa lama kemudian--terutama setelah kebanyakan nongkrong dengan para pribumi--saya pun mulai merasa harga tiket itu terlalu mahal.
"Ashburton Grove (Emirates) itu isinya kebanyakan turis!" sergah Antony Sutton, penulis sepak bola The Indonesian Way of Life.
Baca juga: Harga Tiket Indonesia Vs Malaysia Mahal, Begini Kata Simon McMenemy
Ia yang die hard fans Arsenal menyatakan tak akan mau dimakan oleh kapitalisme sepak bola karena harga tiket yang terlalu tinggi dan tentu saja atmosfer yang sudah berubah.
Tetapi itu kata dia dulu. Belakangan ia kembali rajin ke stadion dan sudah tak peduli lagi dengan harga tiket.
Inggris jelas berbeda dengan Indonesia. Di sana hot dog pinggir jalan baru bisa dikonsumsi setelah membayar sekitar 5 pound, sementara di Jakarta makanan level sejenis akan berharga sekitar Rp 20.000 (sekitar 1,2 pound).
Di sini kita juga terbiasa menyaksikan sepak bola dengan cara gratisan dengan berbagai teknik apapun mulai dari manjat pagar, berburu kenalan orang dalam atau jika perlu "salaman" dengan pihak keamanan.
Kita selalu bangga dengan catatan rekor final Perserikatan 1985 antara PSMS Medan vs Persib Bandung yang katanya sampai dihadiri 180.000 penonton.
Padahal tidak pernah ada catatan ditemukan soal berapa banyak orang yang membeli tiket resmi, apalagi catatan berapa sih pendapatan panpel malam itu hanya dari tiket?
Persoalan ekonomi di Indonesia yang memang hanya bagus di kulit luar membuat kenaikan harga walau hanya secuil sering menjadi perdebatan, seperti ketika tiket termurah Persija di kandang GBK naik dari Rp 20.000 ke Rp 30.000.
Banyak pendukung tim yang meradang karenanya. Persoalan ekonomi kemudian diargumentasikan kepada persoalan kualitas sepak bola kita yang memang cuma segitu doang.
Betul jika hanya orang-orang tak beriman saja yang berani membandingkan liga kita, bahkan dengan Liga Jepang sekalipun.
"Di Inggris kita lihat kualitas dan nama-nama besar, di sini kan cuma gini-gini aja."
Padahal bukan itu esensinya, karena yang pertama kali protes justru orang-orang yang katanya sangat mencintai sepak bola nasional, sementara orang-orang yang sejak awal memang tak peduli dengan tontonan sepak bola nasional malah sama sekali tidak bersuara.
Kita terlalu terbiasa untuk hidup di masa barbar, era ketika barter adalah cara membayar jasa.
Terbiasa hidup di era klub sepak bola tidak butuh pemasukkan karena pembiayaan klub dilakukan oleh negara, terbiasa pula untuk mendapatkan segalanya dengan murah.
Nonton langsung di televisi gratis adalah salah satunya. Lalu ketika sepak bola berubah menjadi industri, kita bagai kelimpungan sendiri dan menyalahkan kualitas sepak bola kita yang rendah itu, sebagai alasan mengapa nilai pertandingan langsung menjadi harus murah.
Padahal, yang bermasalah adalah kita sebagai penonton yang terlalu lama hidup manja.
Terlalu lama menikmati sesuatu yang di bawah standar sembari dibuai jargon-jargon media bahwa kita adalah yang terbaik di dunia, seolah jadi yang terbaik itu bisa didapat dengan pemikiran chauvinism belaka bukan dengan pencapaian yang sebenarnya.
Hal semacam ini tidak hanya terjadi dalam sepak bola, tetapi di banyak bidang lain.
Baca juga: Di Anfield, Pendukung Bayern Protes Mahalnya Harga Tiket
Dalam pekerjaan saya sebagai seorang filmmaker, sudah tak terhitung berapa banyak film kita atau film buatan bangsa lain ditonton dengan cara ilegal tanpa si pelaku punya rasa bersalah.
Apakah ini terjadi karena si penonton bajakan tak punya uang?
Pasti belum tentu, alasan terbanyak adalah rasa cukup menikmati karya sinema di layar komputer tetapi tidak mau menunggu sampai karya yang diinginkan siap streaming legal di platform setelah masa tayang bioskop selesai.
Persoalan harga tiket termurah Rp 250.000 bagi saya justru bukan di angka yang ditawarkan, tetapi malah soal "Dengan harga segitu penonton akan mendapatkan tes antigen, hand sanitizer dan benefit lainnya."
Anggap saja segala benefit bernilai Rp 200.000, lalu siapa sajakah vendor yang akan menerima omzet berangka Rp 200.000 itu?
Mungkin sulit berharap kualitas sepak bola kita meroket cepat hanya karena harga tiket yang bertambah.
Lebih bijak untuk mempertanyakan mengapa harus ada benefit-benefit tadi dan siapa yang akan menikmati perniagaan tanpa kompetisi itu?
Di London, Paris, Berlin, Osaka atau bahkan Kuala Lumpur, tak ada satu pun yang menyematkan harga tiket dengan embel-embel gratis bir atau sekadar nasi bungkus misalnya, kecuali mungkin jika pertandingan liga yang dilakukan di penjara atau di kampung-kampung.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel."sepak" - Google Berita
October 27, 2021 at 08:51PM
https://ift.tt/3BlukLg
Harga dan Keinginan Mengonsumsi (Membandingkan Harga Tiket dengan Kualitas Sepak Bola Kita) - Kompas.com - KOMPAS.com
"sepak" - Google Berita
https://ift.tt/2SP8xJg
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Harga dan Keinginan Mengonsumsi (Membandingkan Harga Tiket dengan Kualitas Sepak Bola Kita) - Kompas.com - KOMPAS.com"
Posting Komentar