Search

Sepak Bola di Antara Maut dan Cinta - JawaPos

AGAR bisa menikmati keindahan sepak bola, mula-mula kita harus hidup. Di situlah letak betapa berharganya final Euro 2020: karena kita masih bisa menontonnya, dengan napas tersengal maupun tidak, tepat saat lebih dari 4 juta jiwa telah melayang karena Covid-19.

Tentang hidup, kematian dan sepak bola, tidak ada yang lebih baik dari Bill Shankly dalam mengartikulasikannya. “Beberapa orang berpikir sepak bola adalah masalah hidup dan mati,” kata manajer legendaris Liverpool itu, “Saya yakinkan Anda, sepak bola jauh lebih serius dari itu.”

Kutipan populer yang menjelma layaknya “syahadat agama sepak bola” itu tak habis-habisnya dikutip para fanatikus sepakbola. Ia kerap digunakan sebagai legitimasi moral ihwal makna terdalam sepak bola.

Kutipan itu memang sangat bertenaga, menggambarkan kedahsyatan sepak bola sebagai kekuatan pemersatu, alat yang efisien untuk memupuk solidaritas kolektif, jika diperlukan bisa menginjeksi dosis patriorisme yang menjompak-jompak.

Tak kurang-kurangnya cerita yang dirujuk untuk membuktikan itu: tendangan Zvonimir Boban kepada polisi di laga Red Star Beograd vs Dynamo Zagreb memicu Perang Balkan, pernyataan Didier Drogba seusai meloloskan Pantai Gading ke Piala Dunia pertama kalinya (2006) memantik gencatan senjata dalam Perang Saudara, dan keberhasilan Zinedine Zidane membawa Prancis juara dunia pada 1998 membuat kaum kanan yang anti-imigran di Perancis kalah dalam pemilu, dll.

Padahal, akar Perang Balkan mengakar sangat jauh dari itu, juga lebih dulu dipicu referendum sepihak yang dilakukan oleh etnis Croat yang disusul rentetan kekerasan setelahnya. Kisah tentang Drogba biasanya mengabaikan fakta bahwa Perang Saudara toh terjadi lagi jauh setelah itu (2010-2011). Tak sampai 3 tahun setelah 1998 itu Zidane telah dimaki rasis oleh suporter Prancis dalam laga melawan Aljazair (“Zidane Harki”) dan Marine Le Pen yang memimpin partai sayap kanan memenangkan pemilu.

Melebih-lebihkan, atau menggawat-gawatkan, sebagaimana mengecil-ngecilkan, adalah bagian inheren dari praktik penyuntingan sejarah yang diperlukan agar narasi yang disusun cocok dengan struktur mental yang kita kehendaki. Fiksi, juga bercerita, memang kelebihan paling premium yang bikin kita semua – spesies sapiens ini — sanggup mengungguli spesies lain di kerajaan hominid dalam perlombaan evolusi berusia ratusan ribu tahun.

Sepak bola sebagai sebuah kisah inilah yang membuat usia sebuah pertandingan bisa melampaui 90 menit. Laga boleh berhenti, tapi kisahnya, dan juga pengandaian-perngandaiannya, bisa abadi (andai Maradona sejak dini ditebas Peter Beardsley sebelum menari-nari setengah lapangan di laga perempatfinal 1986, andai Zidane tidak menanduk Marco Materazzi pada final Piala Dunia 2006). Sepak bola sebagai sebuah kisah itulah yang menjadi fondasi yang memungkinkan bunyi kutipan Shankly berdentam sangat keras dan bergema begitu panjang.

Sepak bola sebagai sebuah kisah, bukan permainan an sich, yang membuat orang-orang merindukan sepak bola saat Maret-Mei 2020 segalanya mendadak hening oleh pandemi. Aneh rasanya akhir pekan, selama berbulan-bulan, tidak diramaikan oleh sepak bola.

Yang dirindukan tidak hanya sekadar gol, umpan atau tekel, tapi sepak bola sebagai rentetan makna yang dari sana kita bisa mengunduh banyak hal: emosi, gairah, kemarahan, rindu, dendam, kadang juga pelajaran tentang hidup.

Adblock test (Why?)



"sepak" - Google Berita
July 13, 2021 at 10:22AM
https://ift.tt/2UERnks

Sepak Bola di Antara Maut dan Cinta - JawaPos
"sepak" - Google Berita
https://ift.tt/2SP8xJg
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Sepak Bola di Antara Maut dan Cinta - JawaPos"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.